Minggu, 13 November 2022

Ujian Kenaikan Kelas

    Beberapa waktu yang lalu, disuatu tempat ngopi, aing berbincang-bincang dengan beberapa teman. Sepreti perbincangan tongkrongan pada umumnya, alur dari topik obrolan semakin malam selalu semakin mengarah pada topik-topik berbau agama. Dari obrolan tongkrongan tersebut kita berbagi banyak hal. Mulai dari pemikiran, tentang suatu teori, pendapat, sampe curahan hati dari salah satu teman aing pun jadi pembahasan di perbincangan tersebut.

    Malam itu di satu saat yang spesifik, ada obrolan mengenai pernikahan. Aing saat itu memang sengaja pengen tahu bagaimana pandangan teman-teman aing tentang pernikahan. Aing kadang bingung dengan pernikahan. Sekarang ini, Banyak banget temen-temen satu angkatan aing yang udah menikah, malah sekarang mayotitas sudah menikah. Aing merasa sepertinya untuk menikah, aing harus memenuhi beberapa kriteria atau kondisi dengan parameter yang jelas. Kemudian, setelah aing berhasil mencapai kondisi tertentu tersebut atau aing sudah berhasil memenuhi kriteria yang diatur dengan parameter tersebut, barulah aing bisa dikatakan layak untuk menikahi seseorang.

    Aing rasa, untuk menikahi seseorang, aing harus menemukan orang yang memang bener-bener aing cintai untuk aing nikahi. Mungkin sebenernya saat ini ada orang yang bener-bener aing cintai dan aing tau, aing sadar, dan aing yakin kalau aing cinta sama orang ini, tapi  rasa cinta yang aing punya, belum bisa aing ekspresikan dengan baik. Ekspresi cinta yang aing maksud disini bukan tentang sekedar menyatakan perasaan cinta aing kepada orang tersebut, melainkan tentang bagaimana output dari rasa cinta aing tersebut atau bagaimana aing bisa mempersembahkan sesuatu yang pantas bagi orang yang aing cintai. Aing merasa, untuk saat ini, aing belum bisa mengekspresikan dengan cara yang pantas atau memberikan sesuatu yang pantas bagi seseorang yang aing cintai.

    Satu hal yang aing yakini adalah aing gak akan bisa mengekspresikan cinta dengan baik atau dengan pantas sebelum aing bisa mencintai diri aing sendiri. Untuk saat ini belum sampai di sana, bahkan aing masih sering melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri, aing sering banget melepas tanggung jawab pribadi yang sebenernya untuk diri aing sendiri. Aing belum bisa mendedikasikan usaha yang maksimal atau belum mampu untuk memenuhi kebutuhan pribadi aing yang sebenernya sangat penting bagi diri aing. Misalnya kebutuhan istirahat atau tidur yang berkualitas, makan makanan yang sehat dan teratur, minum air putih dengan cukup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Aing masih merasa berat banget untuk bisa penuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi aing tersebut secara ideal. 

    Kalau aing belum bisa memberikan yang terbaik untuk diri aing sendiri, bagaimana mungkin aing bisa memberikan yang terbaik untuk orang yang aing cintai. Itulah yang kemudian membuat aing bingung. Berbagai cara udah aing coba, tapi mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan pribadi aing secara ideal, usaha yang aing lakukan memang belum cukup. Di satu hal tertentu kadang aing bisa untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara ideal, tapi kemudian untuk mempertahankan hal tersebut, ternyata lebih sulit. Untuk bisa konsisten ternyata jauh lebih sulit dari pada hanya sekedar memenuhi kebutuhan tersebut. Ditambah lagi masih ada hal-hal lainnya yang harus aing coba. Satu tercapai, lanjut ke yang lain, tercapai lagi, tapi yang sebelumnya hancur lagi. Rasanya kaya gak ada akhirnya.

    Sampai aing terfikir, apa sebenernya menikah adalah solusi dari semua masalah kebutuhan pribadi aing ya? 

    Lalu kemudian, salah satu teman aing di tongkrongan tadi mulai menanggapi pandangan aing tentang pernikahan yang menurut aing masih jauh untuk aing bisa lakuin. Poin penting yang aing bisa dapetin dari pandangan dia adalah dia setuju, memang bener untuk bisa mencintai sesuatu, aing harus bisa mencintai diri aing sendiri dulu. Tapi, aing gak harus sempurna dan semua hal yang aing sebutin tadi ga harus semua dalam kondosi ideal. Ada beberapa hal yang sebenernya bisa ditoleransi selama gak terlalu melenceng jauh dari kondisi ideal. Menurut dia, pernikahan sebenernya juga proses, bukan tujuan. Maka dari itu, dia gak setuju dengan pemikiran orang yang menganggap bahwa menikah adalah solusi untuk mengatasi suatu masalah.

    Kesimpulan dari yang pengen aing sampaikan disini adalah untuk saat ini aing punya pandangan bahwa menikah itu ibarat kita naik kelas saat kita ada di bangku sekolah. Saat ini aing adalah anak kelas 1 yang pengen naik ke kelas 2. Untuk bisa naik ke kelas 2, aing harus memahami materi-materi fundamental yang diajarkan di kelas 1. kemudian, ujian kenaikan kelas pasti bakalan ada. Aing harus yakin bahwa aing bisa menyelesaikan ujian kenaikan kelas tersebut. Caranya adalah dengan memahami materi-materi yang diajarkan di kelas 1. Aing sebagai anak kelas 1 gak akan mungkin bisa naik ke kelas 2 kalau aing gak lulus dari ujian kenaikan kelas. Kalau aing belum bisa memahami dengan baik materi-materi di kelas 1 dan aing memaksakan diri untuk naik ke kelas 2, aing takut di kelas 2 nanti aing bakalan lebih busuk karena aing gak paham dengan materi-materi fundamental yang diajarkan di kelas 1. Jadi aing harus semangat untuk terus belajar sampai benar-benar faham dengan materi yang diajarkan di kelas 1. Sehingga kemudian, saat ujian kenaikan kelas aing bisa lulus naik kelas dan aing siap untuk menerima lebih banyak lagi materi yang akan diajarkan di kelas 2. Dan satu hal lagi untuk bisa lulus atau dikatakan layak untuk naik ke kelas 2, nilai atau hasil dari ujian kenaikan kelas yg aing dapatkan tidak harus 100 atau sempurna, yang penting melewati standar kelulusan yang ditetapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar